Pendidikan memiliki tujuan untuk mencetak
generasi yang cerdas dan memiliki karakter yang berbudi. Tidak hanya itu,
pendidikan juga mendorong perubahan menuju hal yang lebih baik dari generasi ke
generasi. Melalui pendidikan, diharapkan dapat melahirkan hal-hal yang
inovatif,kreatif serta mencetak generasi yang mampu membawa perubahan.
Pendidikan di Indonesia juga mendapat perhatian khusus karena dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945 secara eksplisit tercantum bahwa mencerdaskan
kehidupan bangsa merupakan bagian tanggung jawab negara.
Salah
satu yang menjadi tokoh sentral dalam pendidikan, yakni guru yang merupakan orang
utama dalam menyampaikan materi kepada siswa, sehingga guru juga dituntut
menguasai materi pelajaran. Belum lama ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nadiem Makarim meluncurkan gerakan “Merdeka Belajar”, yaitu kemerdekaan dalam
berpikir. Tujuan merdeka belajar ialah agar para guru, siswa serta orang tua
bisa mendapatkan suasana yang menyenangkan (Media Indonesia, 2019). Diharapkan
dari merdeka belajar, guru dan siswa dapat merdeka dalam berpikir sehingga hal
ini dapat diimplementasikan dalam inovasi guru dalam menyampaikan materi kepada
siswa, tidak hanya itu siswa juga dimudahkan dalam merdeka belajar karena siswa
dimudahkan dalam berinovasi dan kreativitas dalam belajar. Sejalan dengan konsep
merdeka belajar yang digagaskan oleh Mendikbud, bangsa Indonesia juga memiliki
tokoh pelopor pendidikan, yakni Ki Hadjar Dewantara yang sering kita kenal
sebagai bapak pendidikan melalui gagasan dan pemikiran beliau pendidikan di Indonesia
menjadi lebih terarah dan memiliki pondasi yang lebih jelas.
Filosofi
Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah Pendidikan adalah usaha untuk
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setingi-tingginya, baik sebagai
manusia maupun anggota masyarakat. Ki Hadjar Dewantara mengingatkan pendidik
bahwa pendidikan anak sejatinya melihat kodrat diri anak dengan selalu
berhubungan dengan kodrat zaman. Seorang guru dalam proses mendidik dan
menuntun seyogyanya berpegang teguh metode among dan trilogi Pendidikan. Bila
melihat dari kodrat zaman saat ini, pendidikan global menekankan pada kemampuan
anak untuk memiliki Keterampilan Abad 21 dengan melihat kodrat anak Indonesia
sesungguhnya. KHD mengingatkan juga bahwa pengaruh dari luar tetap harus
disaring dengan tetap mengutamakan kearifan lokal budaya Indonesia.
Semangat
Merdeka Belajar yang sedang dicanangkan ini juga memperkuat tujuan pendidikan
nasional yang telah dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, dimana Pendidikan
diselenggarakan agar setiap individu dapat menjadi manusia yang “beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab. Kedua semangat ini yang kemudian memunculkan sebuah pedoman, sebuah penunjuk
arah yang konsisten, dalam pendidikan di Indonesia. Pedoman tersebut adalah
Profil Pelajar Pancasila (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020).
Profil
Pelajar Pancasila ini dicetuskan sebagai pedoman untuk pendidikan Indonesia.
Tidak hanya untuk kebijakan pendidikan di tingkat nasional saja, akan tetapi
diharapkan juga menjadi pegangan untuk para pendidik, dalam membangun karakter
anak di ruang belajar yang lebih kecil. Pelajar Pancasila disini berarti
pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan memiliki karakter sesuai nilai-nilai
Pancasila. Pelajar yang memiliki profil ini adalah pelajar yang terbangun utuh
keenam dimensi pembentuknya. Dimensi ini adalah: 1) Beriman, bertakwa kepada
Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; 2) Mandiri; 3) Bergotong-royong; 4)
Berkebinekaan global; 5) Bernalar kritis; 6) Kreatif. Keenam dimensi ini perlu
dilihat sebagai satu buah kesatuan yang tidak terpisahkan. Apabila satu dimensi
ditiadakan, maka profil ini akan menjadi tidak bermakna. Sebagai contoh: ketika
seorang pelajar perlu mengeluarkan ide yang baru dan orisinil untuk memecahkan
masalah, diperlukan juga kemampuan bernalar kritis untuk melihat permasalahan
yang ada. Solusi yang dihasilkan juga perlu mempertimbangkan akhlak kepada makhluk
hidup lain yang dapat dimunculkan dari dimensi beriman, bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Dalam mewujudkan solusinya, ia pun perlu
melibatkan orang lain dengan tetap menghargai keragaman latar belakang yang
dimiliki (dimensi Gotong Royong dan Berkebinekaan Global).
1.
Berkolaborasi
dengan orangtua dan komunitas untuk mengembangkan sekolah dan kepemimpinan
murid.
2.
Menjadi
pemimpin pembelajaran yang mendorong well-being ekosistem pendidikan di
sekolah.
3.
Mengembangkan
diri dan guru lain dengan refleksi dan berkolaborasi
4.
Memiliki
kematangan moral, emosional, dan spiritual.
5. Merencanakan,
melaksanakan, merefleksikan, mengevaluasi pembelajaran yang berpusat pada siswa
dengan melibatkan orangtua.
6. Mewujudkan
profil pelajar Pancasila yang terdiri atas beriman, bertakwa kepada tuhan YME,
dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, gotong royong, dan
kebhinekaan global.
Nilai ini yang nantinya
akan mendukung Bapak/Ibu Calon Penggerak dalam melaksanakan peran-peran Guru
Penggerak, serta mewujudkan Profil Pelajar Pancasila. Nilai itu sendiri,
menurut Rokeach (dalam Hari, Abdul H. 2015), merupakan keyakinan sebagai
standar yang mengarahkan perbuatan dan standar pengambilan keputusan terhadap
objek atau situasi yang sifatnya sangat spesifik. Kehadiran nilai dalam diri
seseorang dapat berfungsi sebagai standar bagi seseorang dalam mengambil posisi
khusus dalam suatu masalah, sebagai bahan evaluasi dalam membuat keputusan,
bahkan hingga berfungsi sebagai motivasi dalam mengarahkan tingkah laku
individu dalam kehidupan sehari-hari. Melihat peranan nilai sangat penting
dalam kehidupan tingkah laku sehari-hari, maka rasanya penting bagi seorang
Guru Penggerak untuk bisa memahami dan menjiwai nilai-nilai dari seorang Guru
Penggerak. Kelima nilai dari Guru Penggerak adalah: Mandiri, Reflektif,
Kolaboratif, Inovatif, serta Berpihak pada Murid.
Menjadikan sekolah sebagai
rumah yang aman, nyaman dan bermakna bagi murid sepertinya sudah menjadi hal yang
umum diinginkan semua pihak. Mungkin saja, sebagian dari Bapak/Ibu juga
menuliskan mimpi itu pada gambaran visinya. Namun, dalam prakteknya, kalimat
tersebut bukan kalimat yang mudah untuk diwujudkan. Perlu perubahan yang
mendasar dan upaya yang konsisten. Inilah salah satu tujuan visi, yaitu untuk
mencapai perubahan yang lebih baik dari kondisi saat ini. Visi membantu kita
untuk melihat kondisi saat ini sebagai garis “start” dan membayangkan garis
“finish” seperti apa yang ingin dicapai. Ini bagaikan seorang pelari yang perlu
mengetahui garis “start” dan garis “finish” bahkan sebelum ia benar-benar
berlari melintasi jalur lari tersebut.
Menurut Evans (2001), untuk
memastikan bahwa perubahan terjadi secara mendasar dalam operasional sekolah,
maka para pemimpin sekolah hendaknya mulai dengan memahami dan mendorong
perubahan budaya sekolah. Budaya sekolah berarti merujuk pada
kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan di sekolah. Kebiasaan ini dapat
berupa sikap, perbuatan, dan segala bentuk kegiatan yang dilakukan warga
sekolah. Walaupun sulit, reformasi budaya sekolah bukanlah hal yang tidak
mungkin. Untuk melakukannya diperlukan orang-orang yang bersedia melawan arus
naif tentang inovasi dan terbuka terhadap kenyataan yang bersifat manusiawi.
Hal ini berarti butuh partisipasi dari semua warga sekolah.
Untuk dapat mewujudkan visi
sekolah dan melakukan proses perubahan, maka perlu sebuah pendekatan atau
paradigma. Pendekatan ini dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan. Jika
diibaratkan seperti seorang pelari yang memiliki tujuan mencapai garis
“finish”, maka ia butuh peralatan yang mendukung selama berlatih seperti alat
olahraga. Dalam pembelajaran kali ini, kita akan mengeksplorasi paradigma yang
disebut Inkuiri Apresiatif (IA).
Mengelola suatu perubahan
positif di sekolah tentu kita membutuhkan sebuah manajemen perubahan, dimana
menajemen ini dilakukan dengan tahapan BAGJA yang menggunakan paradigma inkuiri
apresiatif, yaitu pendekatan kolaboratif dalam melakukan perubahan yang
berbasis kekuatan. Inkuiri apresiatif menggunakan prinsip psikologi positif dan
prinsip pendidikan positif.
Lima tahapan utama yang
dijalankan dalam akronim BAGJA tersebut adalah :
1. Buat
pertanyaan utama sebagai penentu arah penelurusan terkait perubahan yang kita
inginkan
2.
Ambil
pelajaran ini, dilakukan setelah pertanyaan utama disepakati.
3. Gali
mimpi bersama, dalam tahapan ini komunitas sekolah akan menggali mimpi sebagai
keadaan ideal yang diinginkan dengan digambarkan secara rinci melalui sebuah
narasi dan diperlukan pertanyaan-pertanyaan pemandu dalam penyusunan narasi.
4. Jabarkan
rencana untuk mencapai gambaran yang diinginkan. Tahapan ini akan
mengidentifikasi tindakan yang diperlukan dan mengambil keputusan-keputusan.
5.
Atur
Eksekusi, tahapan ini membantu transformasi rencana menjadi nyata.
0 comments:
Post a Comment